Bengawan Solo dari Masa ke Masa
Air Bengawan Solo terus meluap merendam sawah dan sebagian rumah waga. Sebagian warga Desa Sumbangtimun Kecamatan Trucuk bersiaga
Oleh Subur Tjahjono
Bagaimana asal-muasalnya sehingga sungai yang membentang sepanjang 548,53 kilometer dari perbukitan Desa Jeblogan, Wonogiri, hingga ke Desa Pangkah Wetan, Gresik, itu akhirnya disebut Bengawan Solo? Ekspedisi Bengawan Solo Kompas, 5-20 Juni 2007, sedikit banyak telah menguak misteri di sungai terbesar di Pulau Jawa tersebut.
Pelacakan sejarah Bengawan Solo dilakukan oleh M Dwi Cahyono, ahli sejarah dan arkeologi dari Universitas Negeri Malang, yang juga ikut serta dalam ekspedisi tersebut. Beberapa catatan sejarah yang terkait dengan kondisi ekologis dari masa ke masa Bengawan Solo juga ditemukan oleh Tim Ekologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta yang dipimpin MMA Retno Rosariastuti.
Dwi Cahyono mengutip sumber data tekstual pertama yang memberitakan aktivitas manusia di Bengawan Solo, yaitu Prasasti
Telang (11 Januari 904), yang dikeluarkan oleh Rakai Watukura Dhyah Balitung dari Mataram. Pokok isi prasasti tersebut mengenai penetapan Desa Telang, Mahe, dan Paparahuan sebagai desa perdikan atau sima berkenaan dengan pembuatan penyeberangan sungai di Paparahuan. Nama Paparahuan selanjutnya berubah menjadi Desa Praon di dekat Wonogiri sekarang, yang kemungkinan turut tenggelam dalam genangan Waduk Gajah Mungkur.
Perihal tempat penyeberangan antarsisi bengawan juga diberitakan dalam Prasasti Canggu atau Troulan I, yang juga dikenal dengan Ferry Charter. Prasasti tembaga bertarikh 1280 Saka atau 7 Juli 1358 yang ditulis atas perintah Hayam Wuruk ini berisi penetapan desa-desa di tepi Bengawan Solo dan Brantas sebagai daerah swatantra atau desa perdikan.
Desa-desa di pinggir sungai atau naditirapradesa itu ditetapkan menjadi sima sebagai imbalan atas kewajiban menyeberangkan penduduk dan pedagang secara cuma-cuma. Menurut Dwi Cahyono, maklumat raja ini berlaku secara turun-temurun, sehingga hak kelola atas perahu penyeberangan menjadi milik penuh dari pemimpin sima dan keturunannya.
Menurut Prasasti Canggu, pada daerah aliran Bengawan Solo terdapat 44 desa panambangan dan pada Bengawan Brantas terdapat 34 desa, yang disebut berturut-turut dari hilir ke arah hulu. Sebanyak 35 di antara 44 desa sima penambangan pada Bengawan Solo tersebut dapat ditemukan lokasinya.
Desa sima panambangan yang dilokasikan paling hulu adalah Wulayu. Oleh karena Wulayu merupakan panambangan terhulu, menurut Dwi Cahyono, dapat dipahami bila sebelum sungai besar ini dinamai "Bengawan Solo", dalam naskah Sunda Bhujangga Manik sebutannya adalah Ci Wulayu. Kini tak lagi dijumpai desa atau dusun bernama Wulayu di daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo.
"Namun, jika menilik bahwa desa sima panambangan Kembu terletak di Karanganyar, yang berbatasan dengan Surakarta, amat boleh jadi Wulayu berada di sekitar Kota Solo sekarang," katanya.
Nama kuno lain untuk menyebut Bengawan Solo adalah Semanggi. Semanggi adalah sebutan baru untuk Wulayu. Toponim Semanggi masih dikenal sebagai nama kelurahan di Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. Semanggi merupakan penyeberangan sungai dan sekaligus bandar niaga besar bagi kapal-kapal dagang yang hilir-mudik dari Solo ke daerah-daerah lain di sepanjang aliran Bengawan Solo hingga ke muaranya di Gresik.
Menurut Dwi Cahyono, nama Bengawan Semanggi setidaknya masih digunakan hingga tahun 1726, sebagaimana tampak pada laporan Valentyn (1726). Setelah nama Solo populer untuk menamai Surakarta, nama Ci Wulayu dan Bengawan Semanggi ditinggalkan. Sejak itu lazim disebut dengan Bengawan Solo.
"Belum diketahui dengan pasti dari mana nama Solo diambil.Yang perlu disimak, di Sukoharjo terdapat sebuah dusun bernama Solo.
Mungkinkah nama Kota Solo diambil dari nama dusun ini?" ujar Dwi Cahyono.
Panggung sejarah
Oleh karena itu, Dwi Cahyono menyimpulkan, dalam panggung sejarah Jawa, Bengawan Solo memainkan peran penting. Aneka peristiwa-baik peristiwa ekonomi, politik, religi, kesenian, maupun transportasi dan komunikasi-hadir di daerah aliran Bengawan Solo dalam lintas area dan lintas masa.
Selain itu, aspek ekologis juga dapat dilihat sisi sejarahnya. Hasil riset Tim Ekologi UNS mengutip sumber-sumber di Museum Radya
Pustaka Surakarta, menemukan bahwa tepi Bengawan Solo di daerah Semanggi, Surakarta, dan Langenharjo, Sukoharjo, dahulu merupakan dermaga utama tempat kapal berlabuh. Ini berarti kondisi Bengawan Solo pada masa itu sangat baik.
Air cukup melimpah dari hulu hingga ke hilir sehingga dapat digunakan untuk sarana transportasi yang dapat diandalkan.
Ketersediaan air ini tidak lepas dari kondisi ekologis di sepanjang DAS Bengawan Solo pada masa itu, yang tentunya harus dalam keadaan baik.
Catatan sejarah lainnya menyebutkan bahwa pada masa kekuasaan Sunan Pakubuwana X(1893-1939), dari Keraton Kasunanan, hidup pejabat keraton yang bernama Gusti Riya dengan gelar Pakuningrat. Gusti Riya memiliki pesanggrahan, tempat peristirahatan untuk tujuan rekreasi, di tepi Bengawan Solo yang wilayahnya disebut Kedung Bacin.
Meskipun bacin dalam bahasa Jawa berarti 'bau yang tidak sedap', tempat ini justru termasyhur karena pemandangannya yang indah. Pakuningrat memiliki panggung, yang disebut Panggung Sanggabuwana, sebagai sarana untuk menikmati pemandangan di sungai. Pada musim kemarau, di tempat ini berlangsung acara panen ikan karena Kedung Bacin memilikikedalaman yang cukup, sehingga pada musim kemarau banyak ikan dengan ukuran yang besar yang terperangkap di dalamnya dan memudahkan masyarakat untuk menangkapnya.
Dari hasil wawancara Tim Ekologi UNS dengan penduduk sekitar Kedung Bacin diketahui, ikan yang banyak hidup pada masa itu adalah bader, jendil, sili, jambal, kutuk atau gabus, wagal, udang, dan jenis ikan lainnya. Pada pesta itu biasanya Sunan Pakubuwana X hadir.
Kondisi ini dapat memberikan gambaran bahwa pada masa itu ikan berada dalam jumlah yang melimpah. Hal ini dapat terjadi karena
nutrisi yang dibutuhkan oleh ikan, yaitu plankton, cukup tersedia sehingga ikan dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik.
"Kondisi ekologis yang baiklah yang dapat menciptakan ikan banyak di situ," kata Retno.
Lain dulu, lain sekarang. Saat ekspedisi dilangsungkan, ditemukan kanyataan bahwa Kedung Bacin hanya dipenuhi oleh ikan sapu-sapu. Ini suatu pertanda bahwa kondisi air di sana telah tercemar.
Di wilayah hulu, pada masa itu hutan di Wonogiri menjadi penyedia kayu yang dibutuhkan oleh keraton. Hal ini dapat dilihat dari
bangunan keraton Kasunanan dan Mangkunegaran yang menggunakan kayu jati pilihan yang berasal dari hutan di Wonogiri. Kayu jati yang digunakan telah ditentukan diameternya, biasanya ukurannya lebar, sebagai indikasi bahwa umur tanamannya cukup tua.
"Hal ini pertanda bahwa pada masa itu hutan dijaga keberadaannya agar tetap baik, yakni dengan tidak menebang pohon secara
sembarangan," ujar Retno.
Faktor topografi dengan kemiringan yang tinggi di hulu Bengawan Solo menyebabkan air sungai mengalir dengan deras sehingga tidak ada kesempatan yang cukup bagi tanah bersama-sama perakaran tanaman untuk menangkapnya. Kondisi ini ternyata telah diantisipasi oleh Pemerintah Hindia Belanda pada masa itu, terbukti dengan ditemukannya bangunan dam kuno di Desa Selomerto, Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri, yang dibangun pada tahun 1917. Namun, saat ekspedisi dilaksanakan, dam ini sudah tidak berfungsi karena bergesernya arah aliran sungai.
Peran penting Bengawan Solo tak lupa adalah meluapnya air di sungai tersebut. Catatan terawal yang dapat ditemukan mengenai banjir Bengawan Solo adalah banjir besar tahun 1863 yang merendam daerah hulu. Banjir besar pernah tercatat terjadi tahun 1887 di Ngawi, tahun 1966 di Solo, dan tahun 1968 di Lamongan.
Terakhir, menjelang berakhirnya tahun 2007, banjir besar kembali terjadi yang menggenangi sejumlah kabupaten dan kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yakni Kabupaten Sukoharjo, Kota Solo, Kabupaten Sragen, Ngawi, Blora, Bojonegoro,Tuban, Lamongan, dan Gresik.
"Ada kecenderungan, kalau dilihat dari kala ulang Bengawan Solo, kawasan yang tergenang tiap tahun bertambah luas," kata Retno
Rosariastuti.
"Kalau dilihat dari kala ulang Bengawan Solo, kawasan yang tergenang tiap tahun bertambah luas." Retno Rosariastuti